Tentu. Kau boleh saja masuk,
Masih ada ruang di sela-sela butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran yang tak ditutup rapat;
dan di jalan, sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
Air tempias lewat lubang angin,
Selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
Genting bocor dan aku capek menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan percintaan ini.
Sampai huruf terakhir sajak ini, kau lah yang harus bertanggung jawab atas air mataku.
Masih ada ruang di sela-sela butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran yang tak ditutup rapat;
dan di jalan, sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
Air tempias lewat lubang angin,
Selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
Genting bocor dan aku capek menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan percintaan ini.
Sampai huruf terakhir sajak ini, kau lah yang harus bertanggung jawab atas air mataku.